Langsung ke konten utama

Status Yang (Tak) Diharapkan

“Ini bukanlah status yang diinginkan, namun jika ini harus kamu sandang, percayalah kamu tidak sendirian”


 

AKHIRNYA saya memberanikan diri menulis artikel ini. Tulisan yang saya persembahkan untuk perempuan-perempuan yang sedang menghadapi dilema besar dalam hidupnya. Perempuan berstatus single parents di luar sana. Atau mereka yang masih terbelenggu dengan masa lalu sehingga terus menutup diri. Terpaksa menebalkan muka atas konsekuensi keputusan yang diambilnya. Manusiawi kok. Karena saya sendiri butuh waktu satu tahun untuk dapat memupuk kepercayaan diri lagi. MALU. Come on. Don’t be sad. You are not alone.


 

Inilah cara saya untuk berbagi, untuk kalian yang mengalami nasib yang sama dengan saya. Agar kita saling mengkuatkan, dan kalian yang tidak mengalami hal yang sama, amit-amit jangan sampai ya. Berjuanglah untuk tetap menjaga maghligai yang sudah Allah berikan. Dan kalian yang sedang gundah gulana, jadikan cerita ini sebagai bahan renungan. Jika masih bisa diperbaiki, maka perbaikilah. Karena dibutuhkan hati yang “membatu” untuk melindungi dirimu dari segala prasangka yang ada. Bukan untuk dikasihani apalagi meminta dikasihani.

 

Sampai saat ini tidak sedikit yang bertanya "how can". Bahkan hingga di tahun ke-4 saya memutuskan untuk menjadi single parents. Pertanyaan seputar itu masih sering saya dengar. Jawabannya saya buat simpel saja agar tak ada pertanyaan selanjutnya. "Sendiri lebih baik untuk saat ini, karena pernikahan bukan untuk bikin sakit. Sakit bagi diri sendiri apalagi menyakiti orang lain". Pun ketika in relationship pasca divorce saya lebih mengedepankan "please no attactment" supaya gak sakit ! Karena saya pernah merasakan sakit, dan saya tidak mau sakit lagi. Trauma? Mungkin benar namun juga tidak sepenuhnya benar.


Tidak sedikit juga yang meminta saran pada saya ketika mahligai rumah tangganya diambang kehancuran. Alohaaa...saya bukan konsultan, saya saja gagal dan saya tidak mau menularkan kegagalan saya pada orang-orang di sekeliling saya apalagi anak saya. Jadi jangan meminta saran apalagi menjadikan saya sebagai rujukan sebagai happy single parents.

Setiap kita memiliki case yang berbeda. Case yang kamu hadapi tidak sama dengan case yang saya jalani. Tentunya tanpa harus memperdulikan komentar orang yang seolah-olah tahu apa yang kita rasakan pastinya. Jadi berpikirlah sedalam mungkin jika kamu akan mengambil langkah hidup yang sama dengan saya. Karena kami (saya dan orang-orang dengan pilihan hidup yang sama) tidak pernah mencoba merekomendasikan ini sebagai keputusan terbaik.

Tidak pernah terpikir dibenak saya akan menjadi single parents. Untuk menjalaninya saja hati ini sering kali tertatih-tatih. Namun pilihan ini saya buat, karena saya tidak ingin terbebani dengan hal-hal yang membuat saya hati saya mati.  Dan saya juga tidak ingin menyiksa laki-laki yang pernah menikahi saya dengan kehidupan pernikahan yang suram. Oke, kita divorce.

 

Being single parents not easy. Terkadang kita harus dihadapkan dengan komentar dan pandangan miring orang. "Single parents itu murahan. Bisa diajak check ini kapanpun mau. Tidak sedikit juga menjadikan janda sebagai bahan olok-olokan. Bahan untuk permainan hingga bisa tertawa. Wow...so easy sekali ya". Namun tidak sedikit juga yang memberikan respect positif pada status ini. Ya, orang tentunya akan memberikan repsect baik sepanjang kamu menjaga harga diri dengan baik. Tidak mengganggu kebahagiaan orang lain apalagi sampai menjadi perempuan yang murah. Eits..satu lagi, kalau mau menjadi perusak rumah tangga orang, di jaman ini tentunya gak harus nunggu single parents dulu rasanya. So, back to your self, kamu mau jadi seperti apa.

 

Bisa dibilang “sedikit” pembelaan diri.  Bukan hanya untuk saya, namun untuk mommy-mommy lain dibelahan dunia yang mungkin pernah merasakan hal yang sama ketika kita mencoba “on the track”. Yap. Tetap menjadi ibu yang baik, tanpa tergoda sedikitpun atas manisnya dunia dimana para lelaki yang melihat single parents akan berkata“ Hallooo…every women with status single parents looks like a chance”. Bulshit.

 

Apapun opini yang orang buat, bagi saya go a head lah. Silakan orang beropini. Apapun yang orang katakan itu hanyalah opini orang tersebut, opini yang dibuat seolah-olah mengenal pribadi saya dengan baik.  Its my choice, saya berhak memilih apa yang ingin saya jalani. Hmm gak usah berlebihanlah ya. Single parents bukan makhluk lemah yang harus dikasihani. Dan status ini juga bukan untuk dibanggakan. Namun ini pilihan yang harus dijalani dengan segala konsekuensinya. Kebahagiaan ada ditangan kita sendiri bukan bergantung dengan orang lain. I'm alone but not lonely. Sepanjang ada gadis kecil disamping saya yang harus saya perjuangkan masa depannya.

 

Membesarkan anak dengan status single parents not easy.  Saya harus mencoba menghadirkan dua sosok sekaligus bagi si kecil. Ya, sosok mami dan papi ditengah kesibukan saya bekerja. Dan itu berasa mustahil. But i will try. Caranya, saya selalu berusaha meluangkan waktu untuk menemani si kecil bermain. Melayani setiap celotehnya yang harus diakui kadang membuat saya kesal saat menjawabnya. Namun itu harus dilakukan sepenuh hati. Karena saya ingin sekalipun orang tuanya tidak utuh, namun kasih sayang yang ia terima tak kurang dari anak-anak yang lain. Pun dalam hal fasilitas yang layak diterima anak seusianya saya maksimalkan untuk memberikan.

Saya selalu pastikan membagi waktu untuk si kecil. Diakhir minggu, Sabtu dan Minggu menjadi hari bagi si kecil. Kami lazim menghabiskan waktu di pusat permainan, sekedar melihat pantai dan bermain pasir atau ke salon bersama dan cuci mata bersama. Iya, si kecil sudah pandai loh memilih fashion sesuai seleranya.


Yah, itu sedikit kerumitan yang harus dihadapi dan diselesaikan. So, hidup untuk perempuan yang berani memutuskan untuk menjadi single parents. Dan please say no, untuk kamu yang lagi galau ngadapin rumah tangganya dan mencoba membuat keputusan untuk menjadi single parents. Hidup tidak segampang yang kamu pikirkan !!! Terkadang ada hal-hal yang memang diluar kendali kita. (**) 

Komentar