Langsung ke konten utama

Ini Bukan Senjakala, Ini Era Media Cerdas

Salah satu cara yang saya lakukan untuk mengenalkan dunia saya pada si kecil. Kali pertama saya mengajak si kecil menghadiri Festival Media AJI Indonesia, dan kami mampir ke salah satu stand AJI Kota melihat secara langsung koran-koran tempo dulu yang keotentikannya masih nyata.


SAYA menulis artikel ini, bukan karena saya ingin bersaing dengan seorang wartawan senior dari koran nasional yang belakangan namanya mencuat dan menjadi perdebatan di kalangan jurnalis.  Saya sadar kelas saya di dunia media cetak, koran, baru seujung kuku. Saya menulis ini karena saya juga merasakan keresahan yang sama. Keresahan yang dirasakan (mungkin) hampir seluruh jurnalis yang besar dan hidup dari koran. Namun dibalik keresahan itu, saya masih memiliki segudang optimistis bahwa koran  memiliki 1.000 nyawa, tak akan pernah mati atau benar-benar mati dengan ada atau tidaknya media baru. Media online yang saat ini tumbuh subur layaknya jamur dimusim hujan bukanlah malaikat maut bagi koran!





Tahun 2015, yang baru saja kita lewati menyisakan catatan kelam bagi industri koran. Catatan akhir tahun yang dirilis Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia merujuk data Nielsen dari 117 surat kabar yang dilihat, 16 unit media telah gulung tikar pada 2015. Sementara untuk majalah dari 170 kini menyisakan 132 majalah. Diawali dengan Koran Tempo edisi  hari Minggu sejak 11 Oktober 2015 edisi hari Minggu dihentikan penerbitannya. Menyusul Harian Bola yang terbit sejak 7 Juni 2013 juga terpaksa menarik diri dengan mutuskan berhenti cetak per 31 Oktober 2015. Kemudian Jakarta Globe, harian Indonesia berbahasa Inggris yang diterbitkan mulai 12 November 2008 memutuskan berhenti terbit sejak 15 Desember 2015. Serta Sinar Harapan, mengakhiri penerbitannya sejak 1 Januari 2016. Pada edisi terakhir tersebut pembaca bisa melihat dalam postingan foto Antara, Pemred Sinar Harapan Rikando Somba membubuhkan tanda tangannya dengan tinta merah.

Koran menghentikan terbitannya, ini bukan yang pertama kawan. Sebelumnya dua koran ternama di Amerika Serikat terpaksa ditutup, yakni  The Rocky Mountain News yang terbit harian dalam bentuk tabloid ditutup 27 Februari 2009.  Koran yang telah berumur 153 tahun ini meninggalkan 117.600 pembacanya.  The Seatle Post Inteligence yang sudah berusia 146 tahun dan terbit setiap minggu dalam format broadsheet ini beralih menjadi surat kabar online.

Ya. Sejumlah koran tutup dan mengurangi kuantitas terbitannya. Itu fakta yang tak bisa diabaikan. Tapi ini bukan tanda-tanda senjakala kita kawan. Ada banyak faktor yang membuat sebuah koran mati akibat ditinggalkan pembacanya. Bisa kondisi ekonomi, kualitas karya jurnalistik yang tidak berkelas, atau faktor-faktor lain yang lebih layak jika pakarlah yang mengupasnya.   

Meski baru seumur jagung di dunia koran, namun saya sependapat dengan pernyataan Pemred Nuernberger Zeitung di Jerman (1913) Wolfgang Riepl. Bahwa media cetak ke depan akan tetap eksis dan tetap memiliki pembaca. Sarjana klasik Jeman tersebut mengatakan  “Hadirnya media baru bukanlah pengganti atau substitusi media lama, melainkan tambahan atau kumulatif. Televisi memang sangat interaktif dan atraktif. Tapi, dia tidak pernah benar-benar bisa mematikan radio. Pun radio dia tidak pernah mematikan koran. Faktor kedalaman sajian pula yang membuat bisa bertahan serta media baru dan prinsif pengembangan layanan berita dan hukum saling melengkapi media dalam bentuk konvergensi.”   

Jadi jelas, maraknya pertumbuhan media online yang menawarkan harga murah (gratis), tinggal klik dan langsung dapat diakses dimanapun berada hanya dengan modal gadget dan internet bukanlah virus tanpa obat (baca : mematikan) bagi koran. Saya melihat sendiri sejumlah media online dengan brand besar yang berlalu lalang di media sosial seperti facebook ataupun twitter kerap menerima kritikan akibat judul yang bombastis, isu yang tidak cerdas hanya demi mengejar kuantitas viewer atau klik pembaca. Ini menjawab, murah (gratis), mudah dan cepat tidak menjadi jaminan atas sebuah kualitas berita atau karya jurnalistik yang diincar masyarakat. Pembaca saat ini lebih cerdas dalam memilih bacaannya. Karena itu media cetak dituntut untuk lebih cerdas sehingga bisa memuaskan apa yang diinginkan pembaca.

Kita mungkin (kalah) dengan kecepatan teknologi tapi kita tidak akan kalah dalam inovasi. Ada banyak inovasi yang dapat dilakukan media cetak bernama koran. “Karena salah satu kekuatan dari koran adalah mampu menuliskan dengan tajam dan dalam serta memprediksikan apa yang akan terjadi esok berdasarkan fakta hari ini,” begitu pernyataan yang saya kutip dari salah satu pimpinan Jawa Pos, Alwi Hammu.


Don't find custumers for your products, find products for your customers (Seth Godin). Inovasi. Khususnya dalam merangkul pembaca masa depan (anak sekolah/remaja)! Memberikan ruang bagi pembaca muda yang merupakan aset masa depan. Serta menampilkan beragam konten yang kaya akan keakuratan data, tidak mengedepankan berita bosmastis serta cerdas dan hati-hati dalam memilah isu. Ya. Karena ini adalah era media yang cerdas. Moment bagi media menunjukkan kelasnya. Hanya media berkelaslah yang tidak akan kehilangan pembaca. Berani berinovasi tidak hanya dalam hal konten. Namun juga dalam segi pengelolaan sehingga bisa mengimbangi media online, menjadikan lawan sebagai partner sinergitas. Layaknya teori evolusi Darwin, bahwa yang mampu beradaptasilah yang akan bertahan. Sekali lagi ini bukan senja kala kita kawan. Sebaliknya ini era media cerdas, masa dimana media cetak menunjukkan kelasnya. Mari berkompetisi dengan sejuta inovasi (**) 

Penulis adalah jurnalis Harian Rakyat Bengkulu sekaligus Ketua Divisi Serikat dan Ketenagakerjaan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Bengkulu

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Status Yang (Tak) Diharapkan

“Ini bukanlah status yang diinginkan, namun jika ini harus kamu sandang, percayalah kamu tidak sendirian”   AKHIRNYA saya memberanikan diri m enulis artikel ini. Tulisan yang saya persembahkan untuk perempuan-perempuan yang sedang menghadapi dilema besar dalam hidupnya. Perempuan berstatus single parents di luar sana. Atau mereka yang masih terbelenggu dengan masa lalu sehingga terus menutup diri. Terpaksa menebalkan muka atas konsekuensi keputusan yang diambilnya. Manusiawi kok. Karena saya sendiri butuh waktu satu tahun untuk dapat memupuk kepercayaan diri lagi. MALU. Come on. Don’t be sad. You are not alone.