Langsung ke konten utama

MEA : (Ancaman) Bagi Pekerja Perempuan di Bengkulu ?



KOMUNITAS ASEAN atau ASEAN Community sudah menyepakati untuk melaksanakan kerja sama ekonomi yang diwujudkan dalam bentuk Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Kerja sama tersebut awalnya akan dilaksanakan per 1 Januari 2015. Namun dikarenakan masih diperlukan sejumlah persiapan  dalam kawasan yang terintegrasi, maka tenggat waktu pelaksanaan diundur hingga 31 Desember 2015.


 Antara (Agustus, 2015) merilis berdasarkan studi International Labour Organization (ILO) dan Asian Development Bank (ADB) melihat MEA sebagai peluang bagi pergerakan tenaga kerja, barang, jasa, dan investasi yang lebih cair di kawasan Asia Tenggara. Dalam kajiannya MEA dapat mempercepat integrasi regional dan menyejahterakan semua negara di ASEAN. Sehingga pada tahun 2015 diperkirakan jumlah lapangan kerja keterampilan tinggi akan naik 41 persen atau 14 juta. Sementara lowongan kerja keterampilan  menengah tumbuh 22 persen atau sekitar 38 juta, dan pekerjaan dengan keterampilan rendah naik 24 persen atau setara dengan 12 juta. Dalam kerangka MEA, perempuan menjadi salah satu obyek yang harus mempersiapkan diri. Pasar yang semakin terbuka tidak menutup kemungkinan perempuan lokal akan tersisih dalam berkompetisi untuk mendapatkan pekerjaan. Pengamat Fakultas Ilmu Sosial dan Politik,  Universitas Indonesia, Anisa Santoso, P.hD mengatakan Southeast Asian Migrant Workers in ASEAN Economic Community Framework mencatat 80 juta pekerja migran di dunia sebanyak 48 persen adalah perempuan. Pada tahun 2013, Asia merupakan kelompok diaspora terbesar dimana 13,5 juta pekerja migran berasal dari Asia. Dari angka tersebut hampir 40 persen di antaranya yakni 5,3 juta orang pergi ke negara-negara anggota ASEAN lainnya. Tingginya jumlah pekerja migran perempuan tersebut patut diperhitungkan khususnya bagi para pekerja perempuan di Indonesia umumnya dan di Provinsi Bengkulu khususnya.
 Data yang dilansir Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (BPPPA) Provinsi Bengkulu menyebutkan persentase perempuan yang bekerja di sektor formal hanya 37,5 persen, sedangkan di sektor informal 38,6 persen. Data lainnya yang menunjukkan hambatan perempuan mengakses pekerjaan ini bisa dilihat dari persentase sumbangan pendapatan kerja perempuan dalam Indeks Pembangunan Gender (IPG) kurun tahun 2010-2013 dan Indeks Pemberdayaan Gender (IDG) 2010 – 2011 dan 2012 – 2013. Dimana diketahui persentase sumbangan pendapatan kerja perempuan dalam IPG dan IDG 2010 – 2012 hanya 30,51, dan dalam IPG dan IDG 2012 – 2013 hanya 33,81 persen.
 Ada delapan profesi lapangan pekerjaan yang akan dibuka dalam kerangka MEA. Yakni insinyur, arsitek, perawat, tenaga survei, tenaga pariwisata, praktisi media, dokter gigi, dan akuntan. Ini artinya delapan jenis pekerjaan tersebut menciptakan kompetisi berdasarkan kompetensi yang kuat. Kompetisi ini secara langsung akan menciptakan sekat antara perempuan yang memiliki kompetensi unggul, menengah dan rendah.
 Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Bengkulu merilis, perempuan yang bekerja sebagai Manager, Profesional, Administrasi dan Teknisi tercatat 51,66 persen dengan keterlibatan di Parlemen sebanyak 22, 32 persen. Angka tersebut menunjukan kesempatan perempuan untuk bekerja masih kurang.
 Salah satu pasar kerja yang mengalami pertumbuhan signifikan di Provinsi Bengkulu adalah penjualan kendaraan bermotor khususnya leasing/finance. Data pertumbuhan leasing di Provinsi Bengkululu memang tidak tercatat secara numerik, namun secara kasat mata pertumbuhan leasing dapat dilihat dengan semakin menjamurnya keberadaan industri leasing. Seperti PT Wahana Ottomitra Multiartha, Tbk (WOM Finance), PT. Adira Dinamika Multi Finance, PT Mitra Pinasthika Mustika Finance, PT Oto Multiartha, PT. Bussan Auto Finance, PT. Batavia Prosperindo Finance dan lainnya.
 Industri ini diketahui banyak menyerap tenaga kerja namun lebih didominasi tenaga kerja laki-laki. Perempuan jika mendapatkan akses hanya diposisikan pada staf administrasi, sementara untuk posisi debt colletor, sales dan posisi lain dipegang tenaga kerja laki-laki, meskipun untuk posisi tersebut perempuan dapat melakukan hal yang sama. Akibatnya jenjang karir perempuan dalam pasar kerja tersebut sangat terbatas, sulit bahkan tidak mungkin akan berada pada posisi puncak/head karena selalu diposisikan pada posisi perkerjaan yang aman yakni administrasi.
 Hasil survey lapangan yang dilakukan penulis diketahui komposisi antara pekerja perempuan dan laki-laki pada industri leasing yakni 1: 7, dimana perempuan diposisikan pada bagian administrasi. Perempuan memang lebih ingin diposisikan pada bagian administrasi, meskipun begitu kita tidak memberikan sistem penggajian yang berbeda. Tidak ada range antara salary yang diberikan pada karyawan perempuan dan laki-laki. Pemberian gaji dilakukan sesuai dengan jabatan masing-masing. Namun, manajemen pusat memiliki kebijakan tersendiri (baca : gender) kenapa memposisikan perempuan tidak pada petugas lapangan.
 Tak hanya itu dari sosial budaya pekerja perempuan juga kerap dipandang negatif oleh lingkungan sekitar jika dilihat pulang kerja dalam kondisi larut malam. Termasuk doktrin bias agama yang mengatakan bahwa perempuan tidak bertanggung jawab untuk mencari nafkah, hanya mengurus anak di rumah.  Masalah ketidakadilan gender untuk mengakses pekerjaan ini bila tidak diatasi akan semakin membuat perempuan Bengkulu kian sulit untuk mengakses pekerjaan bila MEA sudah diimplementasikan.
Perempuan Bengkulu “ditekan” dari banyak faktor, mulai dari sosial budaya, doktrin bias agama, keluarga, persaingan kerja dengan laki-laki, persaingan kerja dengan perempuan imigran yang jumlahnya di dunia mencapai 48 persen. Jika tidak ada peraturan yang memproteksi hak-hak perempuan maka MEA yang sejatinya menjadi peluang dapat berbalik menjadi ancaman bagi perempuan. Hadirnya MEA bisa membuat perempuan kehilangan kesempatan berkarir bahkan kembali terpinggirkan sehingga kembali menggeluti pekerjaan-pekerjaan domestik saja.
 Meskipun sejumlah “ketakutan” akan MEA sudah mulai bermunculan, namun penulis belum melihat adanya action dari pihak-pihak yang berkompeten akan hal ini. DPRD selaku lembaga yang menghasilan regulasi bersama Pemda belum banyak berbuat. Apakah akan mendorong hadirnya regulasi yang sama seperti kebijakan dalam pelaksanaan pemilu dimana kuota perempuan minimal 30 persen dari daftar calon anggota legislatif.  Bahkan Pemda sendiri (mungkin) karena tidak terekspose belum memiliki blue print  akan kebijakan langkah strategis seluruh SKPD menghadapi MEA 2015. Yang tujuannya untuk menciptakan sumber daya manusia yang andal, berkualitas, dan memiliki daya saing dengan tenaga kerja asing. (**) 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Status Yang (Tak) Diharapkan

“Ini bukanlah status yang diinginkan, namun jika ini harus kamu sandang, percayalah kamu tidak sendirian”   AKHIRNYA saya memberanikan diri m enulis artikel ini. Tulisan yang saya persembahkan untuk perempuan-perempuan yang sedang menghadapi dilema besar dalam hidupnya. Perempuan berstatus single parents di luar sana. Atau mereka yang masih terbelenggu dengan masa lalu sehingga terus menutup diri. Terpaksa menebalkan muka atas konsekuensi keputusan yang diambilnya. Manusiawi kok. Karena saya sendiri butuh waktu satu tahun untuk dapat memupuk kepercayaan diri lagi. MALU. Come on. Don’t be sad. You are not alone.